BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kehamilan secara umum di
tandai dengan aktivitas otot
polos miometrium yang relative tenang yang
memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan janin
intrauterine sampai dengan kehamilan aterm. Menjelang
persalinan. Otot polos uterus mulai menunjukkan
aktivitas kontraksi secara terkoordinasi, di selingi dengan suatu
periode relaksasi, dan mencapai pucaknya menjelang persalinan, serta
secara berangsur menghilang pada periode postpartum. Mekanisme regulasi yang
mengatur aktivitas kontraksi miometrium selama kehamilan, persalinan, dan
kelahiran, sampai saat ini masih belum jelas
benar.
Secara luas istilah gawat janin
telah banyak di pergunakan, istilah ini biasanya menandakan
kekhawatiran obstetric tentang keadaan janin, yang
kemudian berakhir dengan seksio sesaria atau persalinan buatan lainnya.
Keadaan janin biasanya di
nilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ) dan
yang memeriksa kemngkinan adanya mekonium di dalam cairan amnion. Sering di
anggap DJJ yang abnormal, terutama bila di temukan mekonium, menandakan hipoksia
dan asidosis.
Misalnya, takikardi janin dapat di
sebabkan bukan hanya oleh hipoksia dan asidosis, tapi juga oleh
hipertermia sekunder dari infeksi intrauterine. Keadaan tersebut
biasanya tidak berhubungan dengan hipoksia janin atau asidosis. Sebaliknya , bila
DJJ normal, adanya mekonium dalam cairan amnion tidak berkaitan
dengan meningkatnya insidensi asidosis janin.
Untuk kepentingan klinik perlu di
tetapkan criteria apa yang di maksud dengan gawat janin . di sebut gawat janin
, bila di temukan denyut jantung janin di
atas 160/menit atau di bawah 100/menit , denyut jantung tidak
teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dariFetal Distress (Gawat janin)?
2. Apa penyebab dariFetal Distress (Gawat janin)?
3. Bagaimana patofisiologi dari Fetal Distress (Gawat
janin) ?
4. Apa saja komplikasi dari Fetal Distress (Gawat
janin) ?
5. Bagaimana cara menegakkan diagnosa pada kasus Fetal
Distress (Gawat janin) ?
6. Apa saja klasifikasi dariFetal Distress (Gawat janin) ?
7. Bagaiamana penanganan yang dapat diberikan pada
kasusFetal Distress (Gawat janin) ?
C. Tujuan Penulisan
a. Tujuan umum
Adapun Tujuan Umum dari penulisan
makalah ini ialah penulis mampu menyusun serta melakukan manajemen asuhan
kebidanan secara langsung pada ibu bersalin denganFetal Distress (Gawat
janin).
b. Tujuan khusus
1. Mampu melakukan pengkajian kebidanan pada
ibu bersalin dengan Fetal Distress (Gawat janin)
2. Mampu melakukan pemeriksaan fisik dan
penunjang asuhan kebidanan pada ibu bersalin dengan Fetal
Distress (Gawat
janin)
3. Mampu menetapkan diagnosa kebidanan pada ibubersalin
dengan Fetal Distress (Gawat janin)
4. Mampu melakukan pelaksanaan dan
evaluasi kebidanan pada ibu bersalin dengan Fetal Distress (Gawat
janin)
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
A. GAWAT JANIN (FETAL DISTRESS)
1. Pengertian
Fetal
Distress (Gawat
janin) adalah gangguan pada janin dapat terjadi pada masa antepartum atau
intrapartum. Kegawatan janin antepartum menjadi nyata dalam bentuk retardasi
pertumbuhan intrauterin. Hipoksia janin peningkatan tahanan vaskular pada
pembuluh darah janin. (Nelson, Ilmu Kesehatan Anak)
Gawat
janin terjadi bila janin tidak menerima Oksigen cukup, sehingga mengalami
hipoksia. (Abdul Bari Saifuddin
dkk.2002 ). Secara luas istilah gawat janin telah banyak dipergunakan,
tapi didefinisi istilah ini sangat miskin. Istilah ini biasanya menandakan
kekhawatiran obstetric tentang obstetric tentang keadaan janin, yang kemudian
berakhir dengan seksio secarea atau persalinan buatan lainnya.
Keadaan
janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ). Dan
memeriksa kemungkinan adanya mekonium didalam cairan amniom. Sering dianggap
DJJ yang abnormal, terutama bila ditemukan mekonium, menandakan hipoksia dan
asidosis. Akan tetapi, hal tersebut sering kali tidak benarkan .
Misalnya, takikardi janin dapat disebabkan bukan hanya oleh hipoksia dan
asidosis, tapi juga oleh hipotemia, sekunder dari infeksi intra uterin.
Keadaan
tersebut biasanya tidak berhubungan dengan hipoksia janin atau asidosis.sebaliknya,
bila DJJ normal, adanya mekonium dalam cairan amnion tidak berkaitan dengan
meningkatnya insidensi asidosis janin. Untuk kepentingan klinik perlu
ditetapkan criteria apa yang dimaksud dengan gawat janin. Disebut gawat janin
bila ditemukan bila denyut jantung janin diatas 160 / menit atau dibawah 100 /
menit, denyut jantung tidak teratur , atau keluarnya mekonium yang kental pada
awal persalinan.
2. Etiologi
Penyebab dari gawat janin yaitu:
a. Insufisiensi uteroplasenter akut (kurangnya aliran darah
uterus-plasenta dalam waktu singkat) :
1. Aktivitas uterus yang berlebihan, hipertonik uterus, dapat
dihubungkan dengan pemberian oksitosin.
2. Hipotensi ibu, anestesi epidural,kompresi vena kava, posisi
terlentang.
3. Solusio plasenta.
4. Plasenta previa dengan pendarahan.
b. Insufisiensi uteroplasenter kronik (kurangnya aliran darah
uterus-plasenta dalam waktu lama) :
1. Penyakit hipertensi
2. Diabetes mellitus
3. Postmaturitas atau imaturitas
c. Kompresi (penekanan) tali pusat
1. Oligihidramnion
2. Prolaps tali pusat
3. Puntiran tali pusat
d. Penurunan kemampuan janin membawa oksigen
1. Anemia berat misalnya isomunisasi , perdarahan fetomaternal
2. Kesejahteraan janin dalm persalinan asfiksia intrapartum dan
komplikasi
3. Skor APGAR 0-3 selam > 5 menit
4. Sekuele neorologis neonatal
5. Disfungsi multi organ neonatal
6. PH arteri tali pusat 7,0
3. Patofisiologi
Ada beberapa proses atau tahapan terjadinya
peristiwa Fetal Distress, antara lain :
a. Perubahan pada kehamilan Postterm
Terjadi beberapa perubahan cairan
amnion, plasenta dan janin pada kehamilan postterm. Dengan mengetahui perubahan
tersebut sebagai dasar untuk mengelola persalinan postterm.
b. Perubahan cairan amnion
Terjadi perubahan kualitas dan
kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia
kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan menurun sekitar 800 ml pada 40 minggu.
Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml , 250
ml, 160 ml pada usia kehamilan 42 dan 43 minggu.
Penurunan tersebut berhubungan
dengan produksi urin janin yang berkurang. Dilaporkan bahwa aliran darah janin
menurun pada kehamilan postterm dan menyebabkan oligohidramnion.
Selain perubahan volume terjadi pula
perubahan komposisi cairan amnion menjadi kental dan keruh. Hal ini terjadi
karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi phosphilipid. Dengan lepasnya
sejumlah lamellar bodies dari paru-paru janin dan perbandingan Lechitin
terhadap Spingomielin menjadi 4 : 1 atau lebih besar. Dengan adanya pengeluaran
mekonium maka cairan amnion menjadi hijau atau kuning.
Evaluasi volume cairan amnion sangat
penting. Dilaporkan kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion
yang menyebabkan kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal distress
intra partum pada persalinan postterm.
Untuk memperkirakan jumlah cairan
amnion dapat di ukur dengan pemeriksaan ultrasonografi. Metode empat kuadran
sangat popular. Dengan mengukur diameter vertikal dari kantung paling besar
pada setiap kuadran. Hasil penjumlahan 4 kuadran disebut Amniotic Fluid Index (
AFI ). Bila AFI kurang dari 5 cm indikasi oligrohidramnion. AFI 5 – 10 cm
indikasi penurunan volume cairan amnion. AFI 10 – 15 cm adalah normal. AFI 15 –
20 cm terjadi peningkatan volume cairan amnion. AFI lebih dari 25 cm indikasi
polihidramnion.
c. Perubahan pada plasenta
Plasenta sebagai perantara untuk
suplai makanan dan tempat pertukaran gas antara maternal dan fetal. Dengan
bertambahnya umur kehamilan, maka terjadi pula perubahan struktur plasenta.
Plasenta pada kehamilan postterm
memperlihatkan pengurangan diameter dan panjang villi chorialis. Perubahan ini
secara bersamaan atau di dahului dengan titik-titik penumpukan kalsium dan
membentuk infark putih. Pada kehamilan atterm terjadi infark 10 % - 25 %
sedangkan pada postterm terjadi 60% - 80 %. Timbunan kalsium
pada kehamilan postterm meningkat sampai 10 g / 100 g jaringan plasenta kering,
sedangkan kehamilan atterm hanya 2 – 3 g / 100 g jaringan plasenta kering.
Secara histology plasenta pada
kehamilan postterm meningkatkan infark plasenta, kalsifikasi, thrombosis
intervilosus, deposit fibrin perivillosus, thrombosis arterial dan endarteritis
arterial. Keadaan ini menurunkan fungsi plasenta sebagai suplai makanan dan
pertukaran gas. Hal ini menyebabkan malnutrisi dan asfiksia.
Dengan pemeriksaan ultrasonografi
dapat diketahui tingkat kematangan plasenta. Pada kehamilan postterm terjadi
perubahan sebagai berikut :
a. Piring korion : lekukan garis batas piring korion mencapai
daerah basal.
b. Jaringan plasenta : berbentuk sirkuler, bebas gema di
tengah, berasal dari satu kotiledon ( ada darah dengan densitas gema tinggi
dari proses kalsifikasi, mungkin memberikan bayangan akustik ) .
c. Lapisan basal : daerah basal dengan gema kuat dan memberikan
gambaran bayangan akustik. Keadaan plasenta ini di kategorikan tingkat 3.
d. Perubahan pada janin
Sekitar 45 % janin yang tidak di
lahirkan setelah hari perkiraan lahir, terus berlanjut tumbuh dalam uterus. Ini
terjadi bila plasenta belum mengalami insufisiensi. Dengan penambahan berat
badan setiap minggu dapat terjadi berat lebih dari 4000 g. keadaan ini sering
disebut janin besar. Pada umur kehamilan 38 – 40 minggu insiden janin besar
sekitar 10 % dan 43 minggu sekitar 43 %. Dengan keadaan janin tersebut
meningkatkan resiko persalinan traumatik.
Janin postmatur mengalami penurunan
jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput dan vernik kaseosa hilang. Hal
ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion.
Perubahan lain yaitu : rambut panjang, kuku panjang, warna kulit kehijauan atau
kekuningan karena terpapar mekonium.
4. Komplikasi
a. Pada Kehamilan
Gawat janin dapat menyebabkan
berakhirnya kehamilan karena pada gawat janin, maka harus segera dikeluarkan.
1. Pada persalinan
Gawat janin pada persalinan dapat
menyebabkan :
a. Persalinan menjadi cepat karena pada gawat janin harus
segera dikeluarkan
b. Persalinan dengan tindakan, seperti ekstraksi cunam,
ekstraksi forseps, vakum ekstraksi, ataupun bahkan dapat diakhiri dengan
tindakan sectio saesarea (SC)
5. Diagnosa
Diagnosis gawat janin saat
persalinan didasarkan pada denyut jantung janin yang abnormal. Diagnosis lebih
pasti jika disertai air ketuban hijau dan kental/ sedikit. Gawat janin dapat
terjadi dalam persalinan karena partus lama, Infuse oksitosin, perdarahan,
infeksi, insufisiensi plasenta, ibu diabetes, kehamilan pre dan posterm atau
prolapsus tali pusat. Hal ini harus segera dideteksi dan perlu penanganan
segera.
6. Klasifikasi
Jenis gawat janin yaitu :
a. Gawat janin yang terjadi secara ilmiah
1. Gawat janin iatrogenic
Gawat janin iatrogenik adalah gawat
janin yang timbul akibat tindakan medik atau kelalaian penolong. Resiko dari
praktek yang dilakukan telah mengungkapkan patofisiologi gawat janin iatrogenik
akibat dari pengalaman pemantauan jantung janin.
2. Posisi tidur ibu
Posisi terlentang dapat menimbulkan
tekanan pada Aorta dan Vena Kava sehingga timbul Hipotensi. Oksigenisasi dapat
diperbaiki dengan perubahan posisi tidur menjadi miring ke kiri atau
semilateral.
3. Infus oksitosin
Bila kontraksi uterus menjadi
hipertonik atau sangat kerap, maka relaksasi uterus terganggu, yang berarti
penyaluran arus darah uterus mengalami kelainan. Hal ini disebut sebagai
Hiperstimulasi. Pengawasan kontraksi harus ditujukan agar kontraksi dapat
timbul seperti kontrkasi fisiologik.
4. Anestesi Epidural
Blokade sistem simpatik dapat
mengakibatkan penurunan arus darah vena, curah jantung dan penyuluhan darah
uterus. Obat anastesia epidural dapat menimbulkan kelainan pada denyut jantung
janin yaitu berupa penurunan variabilitas, bahkan dapat terjadi deselerasi
lambat. Diperkirakan ibat-obat tersebut mempunyai pengaruh terhadap otot
jantung janin dan vasokontriksi arteri uterina.
b. Gawat janin
sebelum persalinan
c. Gawat janin
kronik
Dapat timbul
setelah periode yang panjang selama periode antenatal bila status fisiologi
dari ibu-janin-plasenta yang ideal dan normal terganggu.
d. Gawat janin
akut
Suatu kejadian
bencana yang tiba – tiba mempengaruhi oksigenasijanin.
e. Gawat janin selama persalinan
Menunjukkan hipoksia janin tanpa oksigenasi
yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan varibilitas dasarnya dan
menunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap,
glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun.
(Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekkologi, 1994 : 211-213)
7. Penatalaksanaan
a. Penanganan umum:
1. Pasien dibaringkan miring ke kiri, agar sirkulasi janin dan
pembawaan oksigen dari obu ke janin lebih lancer.
2. Berikan oksigen sebagai antisipasi terjadinya hipoksia
janin.
3. Hentikan infuse oksitosin jika sedang diberikan infuse
oksitosin, karena dapat mengakibatkan peningkatan kontraksi uterus yang
berlanjut dan meningkat dengan resiko hipoksis janin.
4. Jika sebab dari ibu diketahui (seperti demam, obat-obatan)
mulailah penanganan yang sesuai.
5. Jika sebab dari ibu tidak diketahui dan denyut jantung janin
tetap abnormal sepanjang paling sedikit 3 kontraksi, lakukan pemeriksaan dalam
untuk mencari penyebab gawat janin:
· Bebaskan setiap kompresi tali pusat
· Perbaiki aliran darah uteroplasenter
· Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau
kelahiran segera merupakan indikasi.
Rencana kelahiran (pervaginam atau
perabdominam) didasarkan pada fakjtor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat
obstetric pasien dan jalannya persalinan.
b. Penatalaksanaan Khusus
1. Posisikan ibu dalam keadaan miring sebagai usaha untuk
membebaskan kompresi aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah
jantung dan aliran darah uteroplasenter. Perubahan dalam posisi juga dapat
membebaskan kompresi tali pusat.
2. Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter permenit
sebagai usaha untuk meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal.
3. Oksigen dihentikan, karena kontraksi uterus akan mengganggu
curahan darah ke ruang intervilli.
4. Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrose 5 %
berbanding larutan laktat. Transfusi darah dapat di indikasikan pada syok
hemoragik.
5. Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan
menentukan perjalanan persalinan.
6. Pengisapan mekonium dari jalan napas bayi baru lahir
mengurangi risiko aspirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung
dan mulut dibersihkan dari mekoneum dengan kateter pengisap. Segera setelah
kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai usaha
untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal.
a. Prinsip Umum :
1. Bebaskan setiap kompresi tali pusat
2. Perbaiki aliran darah uteroplasenter
3. Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau
kelahiran segera merupakan indikasi. Rencana kelahiran (pervaginam atau
perabdominam) didasarkan pada faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetric
pasien dan jalannya persalinan.
b. Penatalaksanaan Khusus:
1. Posisikan ibu dalam keadaan miring sebagai usaha untuk
membebaskan kompresi aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah
jantung dan aliran darah uteroplasenter. Perubahan dalam posisi juga dapat
membebaskan kompresi tali pusat.
2. Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter permenit
sebagai usaha untuk meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal.
3. Oksigen dihentikan, karena kontraksi uterus akan mengganggu
curahan darah ke ruang intervilli.
4. Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrose 5 %
dalam larutan laktat. Transfusi darah dapat di indikasikan pada syok hemoragik.
5. Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat
dan menentukan perjalanan persalinan.
6. Pengisapan mekonium dari jalan napas bayi baru lahir
mengurangi risiko aspirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung
dan mulut dibersihkan dari mekoneum dengan kateter pengisap. Segera setelah
kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai usaha
untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal. (Abdul Bari
Saifuddin dkk.2002 )
c. Pengelolaan Antepartum
Dalam pengelolan
antepartum diperhatikan tentang umur kehamilan. Menentukan umur kehamilan dapat
dengan menghitung dari tanggal menstruasi terakhir, atau dari hasil pemeriksaan
ultrasonografi pada kehamilan 12-20 minggu. Pemeriksaan ultrasonografi pada
kehamilan postterm tidak akurat untuk menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk
menentukan volume cairan amnion (AFI), ukuran janin, malformasi janin dan
tingkat kematangan plasenta.
Untuk
menilai kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 40 minggu dengan
pemeriksaan Non Stess Test (NST). Pemeriksaan ini untuk menditeksi terjadinya
insufisiensi plasenta tetapi tidak adekuat untuk mendiagnosis oligohidramnion,
atau memprediksi trauma janin.
Secara teori
pemeriksaan profil biofisik janin lebih baik. Selain NST juga menilai volume
cairan amnion, gerakan nafas janin, tonus janin dan gerakan janin. Pemeriksaan
lain yaituOxytocin Challenge Test (OCT) menilai kesejahteraan janin dengan
serangkaian kejadian asidosis, hipoksia janin dan deselerasi lambat.
Penilaian
inidikerjakan pada umur kehamilan 40 dan 41 minggu. Setelah umur kehamilan 41
minggu pemeriksaan dikerjakan 2 kali seminggu. Pemeriksaan tersebut juga untuk
menentukan
Penulis
lain melaporkan bahwa kematian janin secara bermakna meningkat mulai umur
kehamilan 41 minggu. Oleh karena itu pemeriksaan kesejahteraan janin dimulai
dari umur kehamilan 41 minggu.
Pemeriksaan
amniosintesis dapat dikerjakan untuk menentukan adanya mekonium di dalam cairan
amnion. Bila kental maka indikasi janin segera dilahirkan dan memerlukan
amnioinfusion untuk mengencerkan mekonium.
Dilaporkan 92%
wanita hamil 42 minggu mempunyai serviks tidak matang dengan Bishop score
kurang dari 7. Ditemukan 40% dari 3047 wanita dengan kehamilan 41 minggu
mempunyai serviks tidak dilatasi. Sebanyak 800 wanita hamil postterm diinduksi
dan dievaluasi di Rumah Sakit Parkland. Pada wanita dengan serviks tidak
dilatasi, dua kali meningkatkan seksio cesarea karena distosia.
d. Pengelolaan Intrapartum
Persalinan pada kehamilan postterm
mempunyai risiko terjadi bahaya pada janin. Sebelum menentukan jenis
pengelolaan harus dipastikan adakah disporposi kepala panggul, profil biofisik
janin baik. Induksi kehamilan 42 minggu menjadi satu putusan bila serviks belum
matang denganmonitoring janin secara serial. Pilihan persalinan tergantung dari
tanda adanya fetal compromise. Bila tidak ada kelainan kehamilan 41 minggu atau
lebih dilakukan dua pengelolaan. Pengelolaan tersebut adalah induksi persalinan
dan monitoring janin. Dilakukan pemeriksaan pola denyut jantung janin.
Selama persalinan dapat terjadi
fetal distress yang disebabkan kompresi tali pusat oleh karena oligohidramnion.
Fetal distress dimonitor dengan memeriksa pola denyut jantung janin. Bila
ditemukan variabel deselerasi, satu atau lebih deselerasi yang panjang maka
seksio cesarea segera dilakukan karena janin dalam bahaya.
Bila cairan amnion kental dan
terdapat mekonium maka kemungkinan terjadi aspirasi sangat besar. Aspirasi
mekonium dapat menyebabkan disfungsi paru berat dan kematian janin. Keadaan ini
dapat dikurangi tetapi tidak dapat menghilangkan dengan penghisapan yang
efektif pada faring setelah kepala lahir dan sebelum dada lahir. Jika
didapatkan mekonium, trakea harus diaspirasi segera mungkin setelah lahir.
Selanjutnya janin memerlukan ventilasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar